Isra-Mikraj dan Pembinaan Keluarga Islam

  • 15-02-2024
  • 03:25 WITA
  • Zaenal Abidin
  • Opini

 

????????? ??????? ??????? ?????????? ??????? ???? ??????????? ?????????? ????? ??????????? ?????????? ??????? ?????????? ???????? ?????????? ???? ????????? ??????? ???? ?????????? ??????????

Terjemahnya:

Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjid Al-Aqsa, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.

Subhanallah, ungkapan ini dalam Al-Qur’an, selain sebagai pernyataan segala bentuk jenis kekurangan Allah swt, juga mengandung makna takjub terhadap satu hal atau peristiwa yang didahului lafadz tersebut. Dalam peristiwa Isra-Mikraj Nabi saw., di antara hal yang membuat takjub manusia ialah jarak yang begitu jauh ditempuh dalam waktu yang sangat singkat.

Jarak antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa adalah kurang lebih 1500 km. Jarak sejauh itu, dibutuhkan waktu setidaknya 40 hari jika berjalan kaki. Sementara jika ditempuh dengan menggunakan transportasi canggih saat ini seperti mobil waktu tempuh yang dibutuhkan yaitu selama kurang lebih 15 jam.

Jarak antara Palestina di bumi ini dengan Sidartul Muntaha tidak dapat dihitung secara pasti oleh ilmuan, hanya sekedar perkiraan. Perhitungan yang pasti secara fisika, Jarak Bumi ke palnet terluar dalam sistem tata surya yaitu 7,5 M km. yang ditempuh cahaya lebih kurang 7 jam. Sementara jarak dari Pluto ke Sidratul muntah diperkirakan masih 3.5 M km. Prediksi jarak sejauh itu harusnya ditempuh cahaya selama 11 Jam. Subhanallah, Nabi saw menempuhnya hanya kurang dari 4 jam. Artinya, kecepatan kendaraan Nabi saw. Lebih cepat 3 kali lipat dari kecepatan cahaya. 

Peristiwa ini tentu tidak dapat dinalar oleh pikiran manusia, tetapi hanya dapat diterima oleh hati (iman). Pelajaran dari sini, dalam kehidupan rumah tangga, tidak semua harus dirasionalkan, sesuai pikiran, tapi harus melibatkan hati atau rasa. Tidak melalu terkait dengan rasionil, tapi psikologis. Pasangan suami istri dituntut untuk memiliki kepekaan rasa demi terbentuknya komunikasi yang intens sebagai pondasi terbangunnya rumah tangga yang sakinah dan mawaddah.